Selasa, 24 Oktober 2017

Perjanjian


A.        Tinjauan Umum Tentang Perjanjian
1.         Pengertian perjanjian
Perjanjian merupakan dasar terpenting dari suatu perikatan disamping sumber lainnya. Pada Pasal 1233 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) menyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan dilahirkan baik karena persetujuan, baik karena undang-undang”. Perjanjian sendiri diatur dalam Pasal 1313 KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.

Terhadap definisi Pasal 1313 KUH Perdata tersebut, Purwahid Patrik menyatakan beberapa kelemahan, yaitu :[1]
a.    Definisi tersebut hanya menyangkut perjanjian sepihak saja. Disini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Sedang kamsud dari perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak, sehingga nampak kekurangannya dimana setidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri” sehingga jelas adanya konsensus antara kedua belah pihak.
b.      Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus/ kesepakatan. Termasuk perbuatan mengurus kepentingan orang lain dan perbuatan melawan hukum. Hal ini menunjukkan makna “perbuatan” terlalu luas, karena sebetulnya maksud perbuatan yang ada dalam rumusan tersebut adalah perbuatan hukum.
Para ahli hukum juga memberikan pengertian tentang perjanjian selain batasan yang diberikan oleh undang-undang, diantaranya, yaitu :
a.    Menurut Subekti[2]  mengatakan bahwa “Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.
b.        Menurut KRMT Tirtodiningrat[3], perjanjian adalah suatu perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat di antara dua orang atau lebih untuk menimbulkan akibat-akibat hukum yang dapat dipaksakan oleh Undang-undang.
c.         Menurut Rutten[4], perjanjian adalah perbuatan hukum yang terjadi sesuai dengan formalitas-formalitas dari peraturan hukum yang ada, tergantung dari persesuaian pernyataan kehendak dua atau lebih orang-orang yang ditujukan untuk timbulnya akibat hukum demi kepentingan salah satu pihak atas beban pihak lain atau demi kepentingan dan atas beban masing-masing pihak secara timbal balik.
Apabila kembali melihat perumusan perjanjian, dapat disimpulkan unsur perjanjanjian meliputi sebagai berikut : [5]
a.        Adanya pihak-pihak sedikitnya dua orang
b.        Adanya persetujuan antara pihak-pihak
c.         Adanya tujuan yang ingin dicapai
d.        Adanya prestasi yang akan dilaksanakan
e.        Adanya bentuk tertentu
f.          Adanya syarat tertentu

2.         Asas-asas perjanjian
Dalam hukum perjanjian dikenal banyak asas, diantaranya adalah :
a.        Asas Konsensualisme
Maksud dari asas konsensualisme adalah bahwa lahirnya perjanjian ialah saat terjadinya kesepakatan. Dengan demikian, apabila tercapai kata sepakat antara para pihak, lahirlah kontrak, walaupun kontrak belum dilaksanakan pada saat itu. Hal ini berarti bahwa dengan tercapainya kesepakatan oleh para pihak melahirkan hak dan kewajiban bagi mereka atau biasa juga disebut bahwa kontrak tersebut bersifat obligatoir, yakni melahirkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi kontrak tersebut.[6]
Asas konsensualisme mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan bertkontrak dan asas kekuatan mengikat dalam perjanjian sebagaimana terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Menurut Subekti dalam bukunya Agus Yudha Hernoko[7] menyatakan bahwa asas konsensualisme terdapat dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUH Perdata. Pelanggaran terhadap ketentuan ini akan mengakibatkan perjanjian ini tidak sah dan juga tidak mengikat sebagai undang-undang. Sementara menurut Rutten dalam bukunya Purwahid Patrik[8] menyatakan bahwa asas konsensualisme merupakan asas bahwa perjanjian yang dibuat itu pada umumnya bukan secara formil tetapi konsensual, artinya perjanjian selesai karena persesuaian kehendak atau konsensus semata-mata.

b.        Asas kebebasan berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu asas yang sangat penting dalam hukum perjanjian. kebebsan berkontrak didasarkan pada Pasal 1338 Ayat (1) KUH Perdata bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
Kebebsan berkontrak memberikan jaminan kebebasan kepada seseorang untuk secara bebas dalam beberapa hal yang berkaitan dengan perjanjian, diantaranya : [9]
1)     Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak
2)     Bebas menentukan dengan siapa ia akan melakukan perjanjian
3)     Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian
4)     Bebas menentukan bentuk perjanjian
5)     Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Ketentuan di atas sejalan dengan apa yang dikemukanan oleh Rutten dalam bukunya Purwahid Patrik[10] yang menyatakan bahwa berdasar asas kebebasan berkontrak, orang bebas membuat atau tidak membuat perjanjian, bebas menentukan isi, berlakunya dan syarat-syarat perjanjian, dengan bentuk tertentu atau tidak dan bebas memeilih undang-undang mana yang akan dipakainya untuk perjanjian itu.
Kebebasan berkontrak dibatasi dengan peraturan umum yang tercantum dalam Pasal 1337 KUH Perdata yang menyatakan bahwa suatu sebab adalah terlarang apabila dilarang oleh undnag-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan atau ketertiban umum.
Asas kebebasan berkontrak merupakan cerminan dari sistem terbuka buku III KUH Perdata. Sistem terbuka adalah orang dapat mengadakan perikatan bersumber pada perjanjian, perjanjian apapun dan bagaimanapun isinya yang mereka kehendaki, baik yang diatur dalam undang-undang maupun tidak diatur dalam undang-undang.[11]

c.         Asas mengikatnya kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Setiap orang yang membuat perjanjian, dia terikat untuk memenuhi perjanjian tersebut karena perjanjian tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dpat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

d.        Asas iktikad baik
Ketentuan tentang asas iktikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang menyatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik.
Menurut Purwahid Patrik,[12] dengan dimasukkannya asas iktikad baik dalam pelaskanaan perjanjian berarti tidak lain kita harus menafsirkan perjanjian itu berdasarkan keadilan dan kepatutan.

3.         Syarat sah perjanjian
Menurut Achmad Busro[13], meskipun hukum perjanjian menganut sistem terbuka, orang bebas untuk mengadakan perjanjian tidak terikat pada ketentuan-ketentuan yang telah ada, namun syarat sahnya perjanjian yang dikehendaki itu haruslah dipenuhi agar berlakunya perjanjian tanpa cela.
Menurut Muhammad Syaifuddin[14], mengikat atau tidak mengikatnya suatu perjanjian terhadap para pihak yang membuat perjanjian tergantung dari sah atau tidak sahnya perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut. Sah atau tidak sahnya suatu perjanjian dapat dipastikan dengan mengujinya menggunakan instrumen hukum yang terkonkritisasi dalam wujud syarat-syarat sahnya suatu perjanjian.
Adapun mengenai syarat sah perjanjian telah disebutkan dengan jelas dalam Pasal 1320 KUH Perdata, bahwa untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu :
a.     Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
b.     Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
c.      Suatu hal tertentu
d.     Suatu sebab yang halal
Keempat syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata tersebut di atas akan diuraikan sebagai berikut :
a.        Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
kesepakatan dalam perjanjian menurut J.H. Niewenhuis dalam bukunya Muhammad Syaifuddin, [15]  dibentuk oleh dua unsur, yaitu pertama, penawaran (aanbod, offerte, offer), yang diartikan sebagai pernyataan kehendak yang mengandung usul untuk mengadakan perjanjian, yang mencakup esensialia (unsur yang mutlak harus ada) dalam perjanjian yang akan ditutup. Kedua, penerimaan (aanvarding, acceptatie, acceptance) yang artinya pernyataan setuju dari pihak lainyang ditawari.

b.        Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya diukur dari standar usia kedewasaan (meerderjarig) untuk person (pribadi) dan diukur dari aspek kewenangan (bevoegheid).[16] Mengenai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum bagi person yang pada umumnya diukur dari standar usia dewasa atau cukup umur. Masih terdapat polemik mengenai kecakapan melakukan perbuatan hukum. Pada satu sisi sebagian masyarakat masih menggunakan standar usia 21 tahun dengan landasan Pasal 1330 KUH Perdata jo Pasal 330 KUH Perdata. Sementara disisi lain mengacu pada standar usia 18 tahun dengan landasan Pasal 47 jo Pasal 50 UU Nomor: 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Sedangkan dalam hal subjek hukumnya adalah berupa badan hukum, maka kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum didasarkan pada kewenangan yang melekat pada pihak yang mewakilinya

c.         Suatu hal tertentu
Pengertian suatu hal tertentu adalah obyek dari perikatan yang menjadi kewajiban dari para pihak dalam arti prestasi. Prestasi itu sendiri harus tertentu atau dapat ditentukan, sedangkan untuk dapat mengatakan tertentu dan dapat ditentukan harus ada jenis dari prestasi itu sendiri yang selanjutnya dapat ditentukan berapa jumlahnya. tertentu disini harus obyek yang dalam perdagangan, karena benda diluar perdagangan tidak dapat dijadikan obyek perikatan. [17] 
Perjanjian dibuat dengan tujuan untuk menimbulkan, mengubah atau mengakhiri perjanjian, sehingga perjanjian dimaksud mewajibkan kepada para pihak yang membuatnya untuk melaksanakan prestasi yang menurut Pasal 1234 KUH Perdata dapat berupa memberikan sesuatu, berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu. Jadi prestasi adalah kewajiban hukum kontraktual yang harus tertentu atau setidaknya dapat ditentukan, sehingga jelas apa yang menjadi hak dan kewajiban para pihak yang membuat perjanjian.

d.        Suatu sebab yang halal
Istilah kata halal bukanlah lawan kata haram dalam hukum islam, tetapi yang dimaksud sebab yang halal adalah bahwa isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.[18]
Sebab yang halal disini adalah tujuan dari pada perjanjian. Apa yang menjadi isi, kehendak dibuatnya suatu perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum seperti yang ditentukan dalam Pasal 1337 KUH Perdata. Sebab dalam jual beli adalah pihak penjual mendapatkan uang dan pihak pembeli mendapatkan barang.
Kempat syarat sahnya perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata dapatlah dibedakan dalam dua bagian :[19]
a.        Bagian pertama merupakan syarat subyektif.
b.        Bagian kedua merupakan syarat obyektif.
Perjanjian yang tidak memenuhi syarat subyektif yaitu tidak adanya kesepakatan mereka yang membuat perjanjian dan kecakapan akan membawa akibat perjanjian yang dibuatnya itu dapat dibatalkan oleh pihak yang merada dirugikan “vernitiegbaar”.
Selama pihak yang dirugikan tidak mengajukan gugatan pembatalan maka perjanjian yang dibuat itu tetap berlaku terus.
Apabila syarat obyektif tidak dipenuhi yaitu tidak adanya hal tertentu dan sebab yang halal perjanjian yang dibuat para pihak sejak semula/saat dibuatnya perjanjian telah batal atau batal demi hukum “nitiegbaar”.

4.         Unsur-unsur perjanjian
Dalam suatu perjanjian, selain adanya syarat sahnya perjanjian, dikenal juga tiga unsur perjanjian, yaitu sebagai berikut : [20]
a.        Essensialia
Unsur essensialia merupakan bagian pokok dari perjanjian, dimana tanpa bagian tersebut perjanjian tidak memenuhi syarat atau dengan kata lain bagian tersebut harus/mutlak ada.
Dalam jual beli, bagian essensialia adalah harga dan barang. Tanpa adanya harga dan barang perjanjian tidak mungkin ada.

b.        Naturalia
Unsur naturalia merupakan bagian yang oleh undang-undang ditentukan sebagai peraturan yang bersifat mengatur, sehingga apabila tidak diatur oleh para pihak dalam perjanjian, maka undang-undang yang mengaturnya. Dengan demikian unsur natualia ini merupakan unsur yang selalu dianggap ada dalam kontrak.

c.         Aksidentalia
Unsur aksidentalia merupakan bagian yang oleh para pihak dalam membuat perjanjian ditambahkan sebagai undang-undang bagi para pihak, karena tidak ada aturannya dalam undang-undang. Sehingga unsur aksidentalia merupakan unsur yang nantinya ada atau mengikat para pihak apabila para pihak memperjanjikannya.  

5.         Bentuk-bentuk perjanjian
Perjanjian kerjasama pada dasarnya tidak terikat pada suatu bentuk tertentu. Ditinjau dari bentuknya, setiap orang atau badan hukum sebagai subjek perjanjian mempunyai kekebasan dalam membuat perjanjian kerjasama, dalam arti bebas membuat perjanjian secara lisan maupun tertulis. Khusus perjanjian kerjasama secara tertulis dapat dituangkan dalam bentuk akta dibawah tangan atau akta otentik yang masing-masing mempunyai kekuatan pembuktian yang berbeda.
Adapun bentuk-bentuk perjanjian dan kekuatan pembuktiannya dapat dijelaskan sebagai berikut :[21]
a.     Perjanjian lisan
Perjanjian liasan adalah suatu perjanjian yang dibuat oeh para pihak secara lisan (oral contract), tidak secara tertulis dalam akta dibawah tangan maupun akta otentik. Dalam perjanjian lisan, terkandung suatu janji yang mengungkapkan kehendak yang dinyatakan dan dianggap sebagai elemen konstitutif dari kekuatan mengikat perjanjian, namun demikian, adanya suatu janji timbal balik tidak serta mera membentuk perjanjian. perjanjian baru terbentuk jika ada perjumpaan atau persesuaian antara janji-janji yang ditujukan satu pihak terhadap pihak lainya.
Hukum membolehkan para pihak membuat perjanjian secara lisan. Namun, dalam perkembangan praktik hukum modern saat ini, suatu perjanjian yang dibuat secara lisan tidak dapat dipertahankan lagi dalam kaitannya dengan kepentingan pembuktian, sehingga perjanjian harus dibuat secara tertulis dalam bentuk akta di bawah tangan atau akta otentik yang digunakan sebagai alat pembuktian.    

b.     Perjanjian tertulis dalam akta di bawah tangan
Menurut Pasal 1874 KUH Perdata, akta di bawah tangan adalah “Surat atau tulisan yang dibuat oleh para pihak tidak melalui perantaraan pejabta yang berwenang (pejabat umum) untuk dijadikan alat bukti”. Jadi, akta di bawah tangan semata-mata dibuat antara para pihak yang berkepentingan. Dengan demikian, semua perjanjian yang dibuat antara para pihak sendiri secara tertulis dalam akta di bawah tangan, bentuknya bebas, terserah bagi para pihak yang membuat dan tempat pembuatnya juga diperbolehkan dimana saja.
Mengenai kekuatan pembuktiannya, perjanjian yang dibuat dengan akta di bawah tangan mempunyai kekuatan pembuktian sepanjang para pihak mengakuinya atau tidak ada penyangkalan dari satu pihak di antara dua pihak. Jika ada satu pihak tidak mengakuinya, maka beban pembuktian diserahkan kepada pihak yang menyangkal akta tersebut dan penilaian penyangkalan atas bukti tersebut diserahkan kepada hakim.

c.      Perjanjian tertulis dalam akta otentik
Akta otentik menurut Pasal 1868 KUH Perdata adalah akta dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berkuasa (pejabat umum) untuk itu, di tempat di mana akta dibuatnya. Jadi, suatu akta disebut akta otentik jika memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a.     Akta yang dibuat oleh atau akta yang dibuat dihadapan pejabat umum, yang ditunjuk oleh undang-undang,
b.     Bentuk akta ditentukan oleh undang-undang dan cara membuat akta harus menurut persyaratan materiil (substantif) dan persyaratan formil (prosedural) yang ditetapkan oleh undang-undang,
c.      Ditempatkan dimana pejabat berwenang membuat akta tersebut.
Jika dua orang datang ke notaris menerangkan bahwa mereka hendak membuat suatu perjanjian, misal perjanjian kerjasama dan meminta notaris untuk membuatkan akta, maka akta itu adalah akta otentik yang dibuat dihadapan notaris. Notaris dalam hal ini hanya mendengarkan dari para piak yang menghadap dan menerangkan dalam suatu akta.
Akta notaris sebagai alat bukti agar mempunyai kekuatan pembuktian yang sempurna, jika seluruh persyaratan materiil (subtantif) dari persyaratan formil (prosedural) pembuatan akta terpenuhi. Jika ada prosedur yang tidak dipenuhi dan prosedur yang tidak dipenuhi tersebut dapat dibuktikan, maka akta tersebut dengan proses pengadilan dapat dinyatakan sebagai akta yang mempunyai kekuatan pembuktian sebagai akta di bawah tangan. Jika sudah berkedudukan seperti itu, maka nilai pembuktiannya diserahkan kepada hakim.
6.         Prestasi dan wanprestasi dalam perjanjian
Prestasi atau yang dalam bahasa Inggris disebut juga dengan istilah “performance” dalam hukum perjanjian dimaksudkan sebagai suatu pelaksanaan hal-hal yang tertulis dalam suatu perjanjian oleh pihak yang telah mengikatkan diri untuk itu, pelaksanaan mana sesuai dengan “term” dan “condition”  sebagaimana disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan. [22]
Adapun bentuk-bentuk dari prestasi seperti disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata, yaitu :
a.     Memberikan sesuatu
b.     Berbuat sesuatu
c.      Tidak berbuat sesuatu
Sementara itu yang dimaksud dengan wanprestasi adalah tidak dilaksanakan prestasi atau kewajiban sebagaimana mestinya yang dibebankan oleh perjanjian terhadap pihak-pihak tertentu seperti yang disebutkan dalam perjanjian yang bersangkutan.[23]
Menurut Rosa Agustina,[24] Wanprestasi adalah tidak terlaksananya perjanjian karena kelalaian salah satu pihak. Bentuk dari kelalaian tersebut dapat berupa sama sekali tidak melaksanakan prestasi, terlambat melaksanakan prestasi atau debitur keliru dalam melaksanakan prestasi.
Adapun bentuk-bentuk dari wanprestasi ada tiga, yaitu :[25]
a.     Tidak memenuhi prestasi sama sekali
b.     Terlambat dalam memenuhi prestasi
c.      Berprestasi tidak sebagaimana mestinya
Dari bentuk-bentuk wanprestasi tersebut di atas kadang-kadang menimbulkan keraguan, pada waktu debitur tidak memenuhi prestasi, apakah termasuk tidak mmenuhi prstasi sama sekali atau terlambat dalam memnuhi prestasi.
Apabila debitur sudah tidak mampu memenuhi prestasinya maka ia termasuk bentuk yang pertama, tetapi apabila debitur masih mampu memenuhi prestasinya ia dianggap sebgai terlambat mmenuhi prestasi.
Bentuk ketiga, debitur memenuhi prestasi tidak sebagaimana mestinya, apabila prestasi masih dapat diharapkan untuk diperbaiki maka ia dianggap terlambat memenuhi prestasi tetapi apabila tidak dapat diperbaiki maka ia dianggap sama sekali tidak memenuhi prestasi. 



7.         Akibat hukum wanprestasi
Akibat wanprestasi yang dilakukan debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam perjanjian, dapat menimbulkan kerugian bagi kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi.
Akibat hukum bagi debitor atau pihak yang mempunyai kewajiban melaksanakan prestasi dalam kontrak tetapi melakukan wanprestasi, yaitu :[26]
a.     Dia harus membayar ganti kerugian yang diderita oleh kreditor atau pihak yang mempunyai hak menerima prestasi (vide Pasal 1243 KUH Perdata),
b.     Dia harus menerima pemutusan hubungan perjanjian disertai dengan pembayaran ganti kerugian (vide Pasal 1267 KUH Perdata),
c.      Dia harus menerima peralihan resiko sejak saat terjadinya wanprestasi (vide Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata),
d.     Dia harus membayar biaya perkara jika diperkarakan di pengadilan (vide Pasal 181 ayat (1) HIR).
Apabila salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya atau wanprestasi, maka pihak yang lain dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan sebagai berikut :[27]
a.     Dapat menuntut pembatalan/pemutusan perjanjian
b.     Dapat menuntut pemenuhan perjanjian
c.      dapat menuntut penggantian kerugian
d.     dapat menuntut pembatalan dan penggantian kerugian
e.     dapat menuntut pemenuhan dan penggantian kerugian
kewajiban membayar ganti kerugian bagi pihak yang wanprestasi baru dapat dilaksanakan jika telah memenuhi empat syarat, yaitu : [28]
a.     dia memang telah lalai melakukan wanprestasi
b.     dia tidak berada dalam keadaan memaksa
c.      dia tidak melakukan pembelaan untuk melawan tuntutan ganti kerugian
d.     dia telah menerima pernyataan lalai atau somasi.
Mengenai akibat hukum wanprestasi baik berupa pembatalan perjanjian atau pemutusan perjanjian keduanya mempunyai makna yang berbeda.
Menurut Agus Yudha Hernoko[29], yang dimaksud dengan pembatalan perjanjian pada dasarnya adalah suatu keadaan yang membawa akibat suatu perjanjian itu dianggap tidak pernah ada. Dengan pembatalan perjanjian, maka eksistensi perjanjian dengan sendirinya menjadi hapus.
Pemahaman mengenai pembatalan penjanjian seharusnya dihubungkan dengan tidak dipenuhinya syarat sahnya perjanjian yaitu :
a.     syarat subjektif, yaitu berupa kesepakatan dan kecakapan. Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan.
b.     syarat objektif, yaitu berupa suatu hal tertentu dan sebab yang halal. Apabila syarat objektif tidak dipenuhi, maka perjanjian batal demi hukum.
Makna pembatalan lebih mengarah pada proses pembentukan perjanjian.
Adapun mengenai pemutusan perjanjian menurut Agus Yudha Hernoko[30], pemutusan perjanjian merupakan akibat hukum lanjutan dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam pelaksanaan pemenuhan kewajiban. Peristiwa tersebut peristiwa tesebut pada umumnya dikaitkan dengan pelanggaran kewajiban salah satu pihak yang mengakibatkan kegagalan pelaksanaan perjanjian sehingga mengakibatkan perjanjian tersebut diputus.
Perbedaan penting terhadap pemahaman antara pembatalan perjanjian dengan pemutusan perjanjian adalah terletak pada fase hubungan perjanjiannya. Pada pembatalan kontrak senantiasa dikaitkan dengan tidak dipenuhinya syarat pembentukannya (fase pembentukan perjanjian), sedang pemutusan perjanjian pada dasarnya mengakui keabsahan perjanjian yang bersangkutan serta mengikatnya kewajiban-kewajiban para pihak, namun karena dalam pelaksanaannya bermasalah sehingga mengakibatkan perjanjian tersebut diputus (fase pelaksanaan perjanjian).

8.         Berakhirnya / hapusnya perjanjian
Buku III KUH Perdata dalam Bab IV tentang hapusnya perikatan, memerinci sebab-sebab hapusnya perikatan sebagaimana diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata, yaitu :
a.     Karena pembayaran,’
b.     Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan,
c.      Karena pembaharuan utang,
d.     Karena perjumpaan utang atau kompensasi,
e.     Karena percampuran utang,
f.       Karena pembebasan utang,
g.     Karena musnahnya barang yang terutang,
h.     Karena kebatalan atau pembatalan,
i.       Karena berlakunya suatu syarat pembatalan, yang akan diatur dalam Bab I,
j.       Karena lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab tersendiri.

B.        Tinjauan Umum Perjanjian Jual Beli
1.         Pengertian perjanjian jual beli
Perjanjian jual beli diatur dalam Pasal 1457 sampai dengan Pasal 1540 KUH Perdata. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata diatur tentang pengerian perjanjian jual beli.
Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.
Menurut Ahmadi Miru,[31] perjanjian jual beli pada umumnya meruoakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya ksepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensialia dan aksidentalia dari perjanjian tersebut.
Lebih lanjut Ahmadi Miru[32] menyatakan, dikatakan adanya kesepakatan mengenai unsur esensialia dan aksidentalia, karena walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal-hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut jual beli tetap tidak terjadi karena tidak tercapai kesepakatan. Akan tetapi, jika para pihak telah menyepakati  

2.         Penyerahan
Berdasarkan Pasal 1475 KUH Perdata, penyerahan adalah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan si pembeli.
Walaupun perjanjian jual beli mengikat para pihak setelah tercapainya kesepakatan, namun tidak berarti bahwa hak milik atas barang yang diperjualbelikan tersebut akan beralih pula bersamaan dengan tercapainya kesepakatan karena untuk beralihnya hak milik atas barang yang diperjualbelikan dibutuhkan penyerahan.
Apabila dalam perjanjian jual beli tidak ditentukan oleh para pihak di mana seharusnya barang yang diperjual belikan tersebut diserahkan, penyerahan harus dilakukan di tmpat di mana barang itu berada pada saat perjanjian jual beli dilakukan.
Cara penyerahan benda yang diperjualbelikan berbeda berdasarkan kualifikasi barang yang diperjualbelikan tersebut. Adapun cara penyerahan tersebut adalah sebagai berikut.[33]
a.     Barang bergerak bertubuh, cara penyerahannya adalah penyeerahan nyata dari tangan penjual atau atas nama penjual ke tangan pembeli, akan tetapi penyerahan tersebut secara langsung dari tangan ke tangan tersebut tidak terjadi jika barang tersebut dalam jumlah yang sangat banyak sehingga tidak mungkin diserhakan satu persatu, sehingga dapat dilakukan dengan simbol-simbol tertentu (penyerahan simbolis).
Pengecualian lain yang bersifat umum atas penyerahan nyata dari tangan ke tangan tersebut adalah, jika :
1)     Barang yang dibeli tersebut sudah ada di tangan pembeli sebelum penyerahan benda tersebut dilakukan, misalnya barang tersebut sebelumnya telah dipinjam oleh pembeli.
2)     Barang yang dibeli tersebut masih berada di tangan penjual pada saat penyerahan karena adanya suatu perjanjian lain,  misalnya barang yang sudah dijual tersebut langsung dipinjam oleh penjual.
3)     Barang yang dijual tersebut berada di tangan pihak ketiga, baik karena persetujuan penjual sebelum penyerahan, maupun atas persetujuan pembeli setelah penyerahan berlangsung.
b.   Barang bergerak tidak bertubuh dan piutang atas nama, cara penyerahannya adalah dengan melalui akta di bawah tangan atau akta otentik. Akan tetapi, agar pnyerahan piutang atas nama tersebut mengikat bagi si berhutang, penyerahan tersebut harus diberitahukan kepada si berhutang atau disetujui atau diakui secara tertulis oleh si berutang.
c.  Barang tidak bergerak atau tanah, cara penyerahannya adalah melalui pendaftaran atau balik nama. 

3.         Harga barang
Menurut Ahmadi Miru, [34] sudah menjadi kelaziman bahwa harga suatu barang dalam perjanjian jual beli ditentukan oleh kedua belah pihak, akan tetapi para pihak yang terlibat dalam perjanjian dapat pula meminta pendapat atau perkiraan pihak ketiga sebagaimana diatur dalam Pasal 1465 ayat (2) KUH Perdata. Akan tetapi, apabila pihak ketiga tidak memberikan perkiraan tentang harga barang tersebut jual beli tidak akan terjadi.
Pasal 1465 KUH Perdata menyatakan bahwa harga beli harus ditetapkan oleh kedua belah pihak. Unsur harga dalam jual beli merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata seperti yang sudah disebutkan di atas.
Pembayaran harga barang pada umumnya dilakukan secara tunai bersamaan dengan penyerahan barang. Akan tetapi, dalam beberapa jenis perjanjian harga barang tersebut tidak dilakukan secara tunai, akan tetapi dilakukan secara angsuran.

4.         Kewajiban para pihak dalam jual beli
a.        Kewajiban Pembeli
Kewajiban utama pembeli adalah membayar harga pembelian pada waktu dan di tempat yang diperjanjikan. Akan tetapi, apabila waktu dan tempat pembayaran tidak ditetapkan dalam perjanjian. pembayaran harus dilakukan di tempat dan pada waktu penyerahan barang dilakukan.
Apabila pembeli tidak membayar harga barang tersebut si penjual dapat menuntut pembatalan perjanjian sebagaimana halnya pembeli dapat menuntut pembatalan perjanjian jika penjual tidak menyerahkan barangnya.
Di samping kewajiban pembeli tersebut di atas, dikenal pula hak penjual. Kewajiban-kewajiban pembeli tersebut di atas merupakan hak dari penjual sehingga tidak perlu lagi untuk menguraikan lebih lanjut tentang hak-hak penjual.
b.        Kewajiban Penjual
Menurut Ahmadi Miru[35]    dalam perjanjian jual beli, terdapat dua kewajiban utama dari penjual terhadap pembeli apabila harga barang tersebut telah dibayar oleh pembeli, yaitu :
1)     Menyerahkan barang yang diperjual belikan kepada pembeli
2)     Menanggung atau menjamin barang tersebut.
Berdasarkan Pasal 1491 KUH Perdata, ada dua hal yang wajib ditanggung atau dijamin oleh penjual terhadap barang yang dijualnya, yaitu :
a)     Menjamin penguasaan barang yang dijual secara aman dan tenteram,
b)     Menjamin cacat tersembunyi atas barang tersebut, yang sedemikian rupa dapa menjadi alasan pembatalan perjanjian.
Maksud dari jaminan tehadap cacat tersembunyi artinya bahwa penjual menjamin bahwa barang yang dijual tidak mengandung cacat tersembunyi atau barang yang dijual dalam keadaan baik sebagaimana tampak bagi pembeli, sehingga apabila ada cacat yang tidak diketahui oleh pembeli yang sekiranya cacat itu telah diketahui oleh pembeli sejak awal, cacat tersebut dapat mempengaruhi jadi atau tidaknya pembeli membeli barang tersebut atau mempengaruhi harga penawaran yang diajukan atau yang disetujui oleh pembeli, penjual akan menanggung akibat adanya cacat tersembunyi tersebut.
Apabila pembeli merupakan konsumen, dan penjual merupakan pelaku usaha, disamping kewajiban tersebut di atas, bagi penjual (pelaku usaha) masih ada kewajiban lain, diantaranya adalah :[36]
1)        Kewajiban untuk menyediakan suku cadang bagi barang yang pemakaiannya lebih dari satu tahun,
2)        Kewajiban memenuhi jaminan atau garansi yang dijanjikan,
3)        Kewajiban menyediakan petunjuk pemakaian (manual) bagi produk yang membutuhkan manual,
4)        Kewajiban menjamin bahwa barang yang dibeli konsumen adalah barang yang layak diperdagangkan,
5)        Kewajiban menjamin bahwa barang yang dijual adalah sesuai dengan tujuan pemakaian yang dimaksudkan oleh konsumen,
6)        Wajib mencantumkan gambar babi jika produk tersebut mengandung babi,
7)        Dan lain-lain.
Kewajiban-kewajiban penjual tersebut sebagaimana diuraikan di atas merupakan hak bagi pembeli sehingga tidak perlu lagi di bahas lebih lanjut tentang hak-hak pembeli.
  
C.        Tinjauan Mengenai Perjanjian Baku
1.         Pengertian perjanjian baku
Pada dasarnya perjanjian dibuat berdasarkan kesepakatan bebas antara dua pihak yang cakap untuk bertindak demi hukum untuk melaksanakan suatu prestasi yang tidak bertentangan dengan aturan hukum yang berlaku, kepatutan, kesusilaan, ketertiban umum, serta kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat luas. Namun, ada kalanya kedudukan dari kedua belah pihak dalam suatu negosiasi tidak seimbang, yang pada akhirnya melahirkan suatu perjanjian yang tidak terlalu menguntungkan bagi salah satu pihak.
Dalam praktek dunia usaha menunjukkan bahwa keuntungan kedudukan tersebut sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku dan/atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan bersifat baku karena baik perjanjian maupun klausula tersebut, tidak dapat dan tidak mungkin dinegosiasikan atau ditawar-tawar oleh pihak lainnya. Take it or leave it. [37]
Menurut Sutan Remy Sjahdeini[38]  menjelaskan bahwa, perjanjian baku hampir seluruh klausula-klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan misalnya harga, jumlah, warna, tempat, baktu dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Jadi yang dibakukan bukan formulir kontrak, tetapi klausula-klausulanya.

2.         Ciri-ciri perjanjian baku
Secara konkrit, perjanjian baku yang berkembang dalam praktek hukum perjanjian mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :[39]
a.     Proses pembuatannya secara sepihak oleh pihak yang mempunyai kedudukan atau posisi tawar menawar yang lebih kuat dari pada pihak lainnya,
b.     Pihak yang kedudukan atau posisi tawar menawarnya lebih lemah, tidak dilibatkan sama sekali dalam menentukan substansi perjanjian,
c.      Pihak yang kedudukan atau posisi tawar menawarnya lebih lemah menyepakati atau menyetujui substansi perjanjian secara terpaksa, karena didorong oleh kebutuhan,
d.     Perjanjian dibuat dalam bentuk tertulis, formatnya tertentu dan massal (jumlahnya banyak).
Menurut Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani[40]  menyatakan bahwa pada prinsipnya dalam undang-undang perlindungan konsumen tidak melarang pelaku suaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan/atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) serta tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (2) Undang-Undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut.
Adapaun ketentuan yang dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah :
a.     Pengalihan tanggung jawab pelaku usaha,
b.     Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyeahan kembali barang yang dibeli konsumen,
c.      Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menyerahkan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibli konsumen,
d.     Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha, baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sephak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran,
e.      Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen,
f.       Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa,
g.     Menyatakan tundukknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan, dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya,
h.     Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk membebankan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.
Selanjutnya dalam Pasal 18 ayat (2) dijelaskan bahwa pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.




[1] Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: CV. Mandar Maju, 1994), hlm. 45  
[2] Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1996), hlm. 1
[3] Agus Yudha Hernoko, op cit, hlm. 16
[4] Purwahid Patrik, Op. Cit., hlm. 46-47
[5] Achmad Busro, Hukum Perikatan berdasar Buku III KUH Perdata, (Yogyakarta : Pohon Cahaya,2011), hlm. 73
[6] Ahmadi Miru, Hukum Kontrak & Perancangan Kontrak,  (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011), hlm. 3
[7] Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., hlm. 121
[8] Purwahid Patrik, Op. Cit., Hlm. 66
[9] Ahmadi Miru, Op.Cit., hlm. 4
[10] Purwahid Patrik, Loc.Cit
[11] Purwahid Patrik, ibid, hlm. 1
[12] Purwahid Patrik, ibid, hlm. 67
[13] Achmad Busro, Hukum Perikatan Berdasar Buku III KUH Perdata, (Yogyakarta: Percetakan Pohon Cahaya, 2011), hlm. 85
[14] Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2012), hlm. 110
[15] ibid, hlm. 113
[16] Agus Yudha Hernoko, Op. Cit., hlm. 184
[17] Achmad Busro, Op.Cit, hlm. 96
[18] Ahmadi Miru, Op,Cit., hlm. 30
[19] Achmad Busro, Op.Cit., hlm. 98
[20] Achmad Busro, ibid, hlm. 50-51
[21] Muhammad Syaifuddin, Op.Cit., hlm, 137
[22] Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001), hlm. 87
[23] Munir Fuady, ibid
[24] Rosa Agustina,Dkk Hukum Perikatan, Law of Obligation, (Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta: Universitas Indonesia, Universitas Leiden, Universitas Groningen, 2012), hlm. 4
[25] Purwahid Patrik, Op.Cit., hlm, 11
[26] Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak, Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), (Bandung: CV. Mandar Maju, 2012), hlm. 343
[27] Purwahid Patrik, ibid, hlm, 12
[28] Muhammad Syaifuddin, Op.Cit., hlm, 344
[29] Agus Yudha Hernoko, Op.Cit., hlm, 293
[30] Agus Yudha Hernoko, ibid, hlm, 296
[31] Ahmadi Miru, Op. Cit., hlm, 126
[32]Ahmadi Miru, ibid, hlm, 127
[33] Ahmadi Miru, ibid, hlm, 128
[34] Ahmadi Miru, ibid, hlm. 151
[35] Ahmadi Miru, ibid, hlm, 133
[36] Ahmadi Miru, ibid, 136
[37] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm, 53
[38] Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang bagi Para Pihak dalam Perjanjian Kredit Bank Indonesia, (Jakarta : Institut Bankir Indonesia, 1993), hlm, 66
[39] Muhammad Syaifuddin, Op.Cit, hlm, 219
[40] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit., hlm, 57

Jika ada pertanyaan, pesan, saran atau sharing,
silahkan tinggalkan pesan dibawah ini atau
menghubungi kontak diprofil saya
:
Nama:


alamat email:



Pesan:



Tidak ada komentar: